Hubihubahubaaa! Aku denger dari temen-temen bahwa kita (siswa SMPN 8 YK) harus nge-post tentang kenangan. Duh nanti kalo cerita kenangan jadi susah move on gimana? *eh*
Sebenernya aku nggak punya moment yang aku anggep menarik berhubung memang aku bener-bener nggak doyan mengkritisi hidup terlalu fanatik, biar mengalir tapi jangan dilepas pelajarannya. Kadang, aku suka mikir banyak hal tentang hal yang aku nggak temui dan selalu kontra dengan pendapat para ahli di luar sana, oh i mean tentang karakter manusia dan tentang pendidikan. Bukan maksudnya "ngapa-ngapain", hal itulah yang membuat aku hanya menengok buku kenangan itu untuk hal yang telah merubahku. Ehehehehehehehehe.
Oke, yang pertama mungin aku mau ceritain tentang pelopor berubahnya cara belajarku, dan membuatku mencintai segala sesuatunya tanpa membedakan satu sama lain. Antara pelajaran ini dan itu, antara ekskul ini dan itu. Beliau adalah Bu Dwi Martati. Ibu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang juga dulu jadi wali kelasku. Aku suka banget kalo Bu Dwi lagi ngomong. Anggun, tertata rapih kalimatnya, santai, dan yaaa enak di denger aja hehehe. Beliau pernah bilang, "Jangan hanya belajar dari buku yang kamu bawa berat-berat di tasmu. Kadang buku itu tidak berguna ketika kamu pakai pengalaman orang lain dan tentu pengalamanmu sendiri untuk belajar dan berhasil hidup di dunia". Aku inget terus kalimat ini. Sampai detik ini. Dan karena itulah, aku jadi setuju sama Profesor Yohannes Surya, bahwa fanatisme anak terhadap nilai dan interpretasi 'anak bodoh' seharusnya tidak ada. Nah, ini nih aku punya foto Bu Dwi, cantik ya, ehehehe
Nah, itu tadi satu moment dari kelas tujuh. Next kelas delapan. Di kelas delapan ini aku tambah nggak menemukan apa-apa, ahahaha. Yang aku temukan adalah tugas main, bebas, bercanda, ketawa, nangis, dan... tugas. Tapi, di kelas delapan inilah aku ketemu dengan kelas delapan enam. Di kelas ini lah aku ketemu sama Rofi, Yoga, dan Rafli. Itu menurutku adalah hal mengesankan. Aku ngga pernah ketemu sahabat forever kayak mereka, yang selalu bisa menerima hidup apa adanya dengan tertawa bersama, menyikapi segala hal dengan tawa, selalu bisa membuat orang lain tertawa, dan hal yang belum aku temui di kebanyakan anak seumuran mereka adalah mereka bisa bikin diri mereka sendiri ketawa. Jadi mereka adalah orang-orang yang diutus dewa tertawa untuk menebar tawa di mana-mana, termasuk untuk diri mereka sendiri(?). Dan bermula dari kenal Yoga juga, @FireflyAcoustic bisa kebentuk. Awalnya ini karena kita diajak Laras untuk ikut lomba seni tahunannya Padmanaba yang namanya DedicArt. Dan akhirnya kita juga memutuskan untuk ngajak Kresna dan Mita untuk gabung. Pengalaman sama Firefly yang dari latihannya, yang dari debatnya, yang dari ribut ini-itu, semua adalah pengalaman yang mengesankan untukku.
Dan di kelas tiga adalah...... OCTO DANCER! Itulah pengalaman pertamaku manage dance crew. Biasanya aku cuma liat crew-ku di pegang sama manager lain, hehehe. Dari awal ada berita tentang kompetisi dance di turnamen JRBL, aku udah excited banget. Tapi begitu tau umurku sudah terlalu tua satu bulan untuk ikut kompetisi itu duh...... berasa macem sepatu, dicobain, udah dites dipake jalan sana-sini, ditawar-tawar harganya, eh tapi nggak jadi dibeli. Dan karena kendala itulah, aku cepet-cepet cari orang yang mau dan emang bisa mengerahkan seluruh tenaganya untuk Bhawara.
Dan akhirnya terkumpulah 10 cumi-cumi inti yang sangat di luar dugaan. Atisya, Fahira, Yacynta, Putri, Tia, Vika, Ifa, Dinda, Isna, dan Naya. Yang berusaha keras menghafal koreo dalam 2 minggu. Yang berusaha menghilangkan masalah internal dan eksternal kalo udah ada di dance room. Yang berusaha tabah dan tegar dengan cobaan diri masing-masing dan tetap fokus. Yang mencoba mengegarkan satu sama lain, menjadi keluarga yang solid, menjadi keluarga yang tak kenal senior atau junior, menjadi keluarga yang tentunya orang-orang di luar sana tidak tau, seberapa kental ikatan kekeluargaan yang telah dibangun. Mengerahkan seluruh usaha, kreatifitas, dan passion di stage. Menyalurkan bakat dan kegemaran sebagai wadah sementara, dan entah kapan wadah sebenarnya akan ada untuk mereka. Dan yang terpenting adalah, merekalah, 10 orang yang aku banggakan. 10 orang yang membuat aku lebih dewasa. 10 orang cumi-cumiku, tempat aku menumpahkan segala yang aku rasakan, tempat aku melihat aku yang dulu ketika aku ada di posisi mereka, tempat aku menumpahkan hobi yang tak tersalurkan selama bertahun-tahun. Dan karena merekalah, aku belajar. Kita terlahir dari ayah dan ibu yang berbeda. Tapi kita diciptakan oleh pencipta yang sama, kita sama-sama diciptakan Tuhan. Dan karena itulah, kita semua, manusia dan segala ciptaan Tuhan di dunia ini, adalah keluarga. Meski berbeda kepercayaan, berbeda jabatan, kaya, miskin, tua muda, balita, dewasa, cacat fisik, cacat mental, orang baik, bahkan mantan narapidana, adalah keluarga yang diciptakan oleh pencipta yang sama, Tuhan. Terimakasih Tuhan.
Dan yang satu lagi hal bahagia bisa jadi anak yang masuk di SMP 8 Yogyakarta adalah mereka. Iya mereka, keluarga Bhawara Hooligans. Baru hari itu (JRBL) aku sadar. Aku punya keluarga yang sangat banyak, yang sangat sangat banyak. Kebersamaan itu kerasa banget. Nggak ada yang namanya kakak kelas, adik kelas, guru, karyawan, semua dalah Bhawara Hooligans. Mengerahkan seluruh jiwa raga untuk mendukung Bhawara dalam keadaan apapun. Kompaknya, ramenya, kreatifnya, joget-jogetnya, nyanyi-nyanyinya, adalah kenangan yang juga nggak bisa aku lupa. Nggak kasih kesempatan supporter lawan untuk bales yel-yel adalah kejutan. Aku kira awalnya sebelum bisa join dan tau se-spektakuler itukah Bhawa Hooligans, aku kira ya kayak supporter sepak bola yang di TV. Tapi ternyata enggak. Kekeluargaannya kerasa banget. Satu lapangan mungin suara Bhawara Hooligas aja yang keras pada waktu itu. Nggak ada kata capek, nggak ada kata nggak dukung. Always love and support Bhawara team. Maka dari itulah aku bangga, menjadi seupil bagian kecil, dari Bhawara Hooligans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar